Ada tulisan menarik yang membuatku merasa tertampar, aku bagikan kembali di sini biar kamu ikut merasakan juga.

Judulnya: Candu Itu Bernama Media Sosial
Mengapa banyak orang kesulitan membiarkan gadgetnya beristirahat?

Hampir tiap waktu layarnya dipijet terus sampai ledeh 😆
Jawaban pikiran umumnya: ya daripada nganggur, gak ada kerjaan.

Berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya. Dari Twitter ke IG, lalu ke FB, ke Tiktok, ke wassap, muter terus. Walaupun tidak menemukan sesuatu yang baru di sana.
Ternyata dorongan itu bukan berasal dari pikiran yang "bilang" daripada nganggur gak ada kerjaan.
Tetapi ada penyebab yang sangat biologis, yang mendorong lebih kuat untuk membuka aplikasi terutama media sosial.

Penyebab utamanya adalah bahan kimia dalam tubuh yang disebut dopamin dan oxytocin.
Dopamin tidak sekadar membuat tubuh jadi rileks, tetapi juga membangun keinginan dan gairah menemukan dan mencari sesuatu yang baru.
Ketika distimulus dengan sesuatu yang tidak terprediksi (unpredictable), dopamin mengalir ke seluruh tubuh.

Reply dari crush, retweet dan quote retweet dari pujaan hati, apalagi sampai viral akan memicu dopamin lagi dan lagi.
Refresh tab mensyen, ngecek siapa yang retweet, siapa yang reply, berapa jumalj yang klik retweet dan like menjadi keasyikan tersendiri karena hal itu memompa dopamin lebih banyak lagi.
Oxytocin adalah kimia tubuh yang membuat stress berkurang, merasa dipenuhi cinta, menumbuhkan kepercayaan, empati, dan kemurah-hatian.

Cairan kimia ini mengalir deras di tubuh di kala kita pelukan dan ciuman.
Setelah mainan media sosial macam Twitter dan sejenisnya selama 10 menit, tubuh kita juga memproduksi oxytocin sebanyak 13% lebih banyak dari sebelumnya.
Makanya banyak penggunan media sosial gampang percaya sama orang lain.

Begitu gampang percaya sehingga mudah diakali, ditipu, dimanfaatkan.
Oleh siapa?

Oleh produsen, atau mereka yang punya niat jahat. Termasuk oleh yang ingin melakukan agitasi politik, ya contohnya sampai terjadi perebutan dukungan pakai semacam buzzeRp 😷
Mengapa kita posting sesuatu di media sosial?

Dalam kehidupan nyata, kita menghabiskan 30-40% waktu untuk bicara tentang diri sendiri. Namun ketika di dunia maya, angka itu melonjak sampai menjadi 80%.
Di dunia nyata kita tidak bebas bicara tentang diri, harus lihat kanan kiri.

Di dunia maya, kita bisa mengkontruksi omongan, bisa tampil menjadi sebagaimana kita ingin dilihat.

Sehingga dramanya lebih rapi.
Jadi, untuk ngomongin diri sendiri lebih mantab lewat dunia maya ketimbang dunia nyata.

Maka itu media sosial menjadi candu, karena rasa yang didapat dari reaksi netijen atas omongan tentang diri sangat kuat.
Kegemaran berbicara tentang diri itu menjadikan netijen mudah dipetakan.

Apa hobinya, afiliasi politiknya, siapa temannya, sirkelnya siapa, dll.
Data-data itu juga akan berguna bagi orang lain untuk mendapatkan banyak hal tanpa meminta secara langsung.

Simpelnya begini, kalau aku ingin nyari tahu karakter sesorang lewat tulisan tangannya, bikin aja twitt reply pake tulisan tangan.

Simpel kan 😆
Ada apa dengan tombol Retweet?

Tombol yang membuat si empu konten merasa punya kedekatan dan bisa membangun relationship timbal balik antar sesama penduduk dunia maya.
Kedekatan yang diwakili dengan tombol Retweet, termasuk reply dan like inilah yang membuat tidak tahan untuk membiarkan gadget kita nganggur.
Ada apa dengan orang yang suka memasang foto diri di media sosial?

Sebuah penelitian menginformasikan postingan gambar orang di IG ternyata lebih banyak (38%) mendapatkan like ketimbang foto non manusia.
Kornea mata manusia pertama-tama tertarik pada gambar manusia daripada gambar lainnya.

Karenanya iklan-iklan hampir selalu memakai gambar manusia.
Jadi sudah benar, jika ingin mendapatkan banyak respon dari netijen pasanglah foto diri.

Seperti apa foto yang kita pasang, itulah yang akan menjadi brand kita.
Seluruh retweet, like, reply, share yang kita dapatkan dari postingan kita di semua media sosial sesungguhnya langsung terhubung dengan cairan biologis dalam tubuh.
Karena itu akan memicu diproduksinya hormon dopamin dan oxytocin.

Semakin terbelenggu tangan kita dengan gadget, semakin banyak tubuh membutuhkan cairan itu.
Maka kita pun kecanduan.

Saat kita sakaw oleh candu media sosial, data-data yang kita pernah share akan digunakan oleh banyak orang yang berkepentingan untuk memanfaatkan kita balim.

Ini namanya senjata makan tuan.
*Disadur dari cerita Guru Budi*
You can follow @omsanto.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled:

By continuing to use the site, you are consenting to the use of cookies as explained in our Cookie Policy to improve your experience.